Sabtu, 27 November 2010

Little Prince

Baru kali ini saya menyaksikan sebuah film yang berbeda dengan film-film pada umumnya. Film yang berjudul "Little Prince" ini berbentuk film musikal dengan perpaduan gambar nyata dan imajinasi di dalamnya. Selain musik, film ini juga menggunakan seni tari sebagai salah satu unsur untuk memperindah setiap adegan. Hampir setiap tokoh dalam film tersebut memiliki nyanyian dan tarian tersendiri yang menjadi karakter khas yang melekat pada mereka. Saya sempat tertegun dengan keberanian sang sutradara dalam memadukan gambar-gambar imajinatif yang beberapa kali ditampilkan sebagai pelengkap cerita yang diangkat dari sebuah novel ini.

Film yang disutradarai oleh Stanley Donen ini menyampaikan pesan tentang bagaimana seharusnya orang dewasa bersikap terhadap anak-anak. Ide pokoknya adalah anak-anak memiliki karakter khusus sebagai anak-anak yang polos, lembut, penuh dengan imajinasi, serta membutuhkan kasih sayang dan penghargaan. Selain itu anak-anak memiliki keterbatasan dalam memahami berbagai hal. Sehingga, orang dewasa perlu menyesuaikan sikap, perilaku, dan tanggapannya ketika berhadapan dengan anak-anak. Orang dewasa tidak dapat memaksakan anak-anak untuk mengerti dan memahami setiap dari ucapan, perbuatan, dan keinginannya. Dialah yang seyogyanya menurunkan standar dan parameternya ketika berhadapan dengan mereka. Mulai dari menggunakan bahasa yang dapat mereka mengerti dengan mudah, sampai memberikan sikap terbaik yang sesuai dengan sudut pandang anak-anak. Ia tidak boleh menggunakan bahasa yang terlalu sulit dipahami oleh anak-anak karena itu dapat membuat mereka menjadi bingung. Penggunaan bahasa yang tepat juga harus diiringi dengan sikap yang tepat sesuai sudut pandang atau parameter pemikiran anak-anak agar mereka merasa dimengerti, dipahami, dan dihargai.

Yang disayangkan dari film “Little Prince” ini adalah alur penyampaiannya yang agak membingungkan di awal cerita. Di awal film, salah satu tokoh utama yang berprofesi sebagai seorang pilot menceritakan pengalamannya di masa lalu saat ia masih anak-anak. Dalam flashback itu, dikisahkan masa kecil sang pilot tidak bahagia. Orang-orang dewasa di sekitarnya pada waktu itu tidak dapat menghargai karya lukis yang dibuatnya dengan sungguh-sungguh. Mereka bahkan mencela karya itu. Sejak saat itu ia tidak mau lagi menggambar dan tidak ingin jadi pelukis. Entah bagaimana tiba-tiba ia menjadi dewasa. Ia menjadi seorang pilot yang berjungkir-balik dengan pesawatnya. Lalu ia menguji coba pesawat barunya dan akhirnya karena sebuah kerusakan pada mesinnya, pesawat itu akhirnya jatuh ke daerah gurun pasir. Kemudian sang pilot bertemu dengan seorang anak yang disebutnya “Little Prince”. Setelah itu alur cerita mulai dapat dipahami. Penggunaan alur mundur atau flashback menjadi fokus penting dalam penyajian cerita di film ini. Meskipun pada awalnya sempat membingungkan, namun setelah masuk ke tengah cerita, alurnya semakin halus dan dapat dipahami penonton dengan mudah.

Jika ditinjau dari keutuhan pembahasan, sebenarnya film yang banyak mengambil latar gurun pasir ini terkesan agak rumpang. Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan atau tidak diungkapkan, padahal hal tersebut merupakan bagian penting dari pemahaman cerita. Seperti yang sudah saya ulas sebelumnya bahwa pada bagian awal film terkesan agak membingungkan. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya bagian yang tidak dijelaskan oleh penulis skenario. Salah satunya adalah informasi tentang sang pilot dalam kisah itu. Sehingga penonton bisa memiliki kesimpulan yang berbeda-beda akibat adanya interpretasi yang berbeda pula terhadap tokoh pilot itu sendiri.

Terlepas dari semua kekurangan dan kelebihan yang terdapat dari film “Little Prince”, ide yang ingin disampaikan penulis film ini tergolong cukup praktis untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Film ini mengajarkan kita tentang bagaimana harus bersikap kepada anak-anak. Tentunya pelajaran tersebut sangat bemanfaat bagi saya karena seumur hidup saya, saya tidak akan pernah lepas berhubungan dengan anak-anak. Selain itu, pengalaman masa kecil seseorang biasanya memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk perkembangan mentalnya.

Monas yang Menawan


Sabtu, tanggal 30 Oktober 2010 adalah hari yang akan selalu saya kenang dalam hidup saya. Hari itu begitu cerah, saya beragenda untuk mengunjungi Monas bersama sahabat terdekat saya, Mba Dinda. Saya berangkat ke Jakarta pada pukul 9.15 menggunakan KRL Ekonomi dari Stasiun UI dan turun di Stasiun Gondangdia di dekat kos Mba Dinda sekitar 30 menit kemudian. Saya beberapa kali mengirimkan pesan singkat ke telepon genggam Mba Dinda. Namun tidak ada jawaban. Akhirnya saya memutuskan untuk menjemputnya di kos. Setelah ia selesai bersiap-siap, kami makan siang dahulu di warteg. Setelah kenyang, kami segera berangkat ke Monas yang letaknya tidak jauh dari sana dengan berjalan kaki.

Lima belas menit kemudian kami tiba di Monas. Ternyata di tamannya saja sudah cukup ramai pengunjung. Kami melihat di antrean untuk naik lift menuju puncak Monas sudah dipadati pengunjung, baik lokal, luar daerah, bahkan luar negeri. Kami pun memutuskan untuk mengobrol santai dahulu di taman Monas sambil menunggu antrean sedikit sepi. Kursi taman di dekat pintu masuk Monas menjadi pilihan kami untuk bercengkrama sambil menikmati pemandangan. Dari tempat kami duduk, tampak beberapa gedung-gedung penting yang terletak di sekitar Monas, diantaranya adalah gedung Pertamina, gedung Pramuka, Tower MNC, gedung Kementerian BUMN, Pariwisata, gedung Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pekerjaan Umum, RRI, masjid Istiqlal, dan gedung Telkom. Di sekitar Monas juga terdapat banyak pedagang, mulai dari makanan, minuman, cindera mata, atau juru foto.

Setelah cukup lama mengobrol di Taman Monas, sekitar pukul 12.10 WIB kami menuju ke loket untuk membeli tiket masuk cawan Monas. Cukup murah, 1000 rupiah bagi pelajar, anak-anak dan mahasiswa serta 2500 rupiah bagi dewasa atau umum. Berbekal tiket masuk tersebut, kami menuju ke cawan Monas yang berisi diorama-diorama yang menceritakan sejarah bangsa Indonesia. Ada lima diorama yang menceritakan sejarah bangsa Indonesia sejak masa manusia purba, masa kerajaan, masa penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, masa proklamasi kemerdekaan, masa mempertahankan kemerdekaan, hingga masa awal pemerintahan Indonesia.

Selain diorama, ada pula ruang yang berisi informasi tentang kota Jakarta. Di dalam ruang tersebut terdapat maket tiga dimensi yang merepresentasikan wilayah DKI Jakarta. Ada juga beberapa foto tentang kota Jakarta dan rencana pembangunan kota Jakarta selanjutnya. Saya sempat terkagum-kagum melihat rancangan pembangunan Jakarta di masa depan. Begitu megah dan futuristik.
Di cawan Monas juga terdapat tiang-tiang pendek yang berisi informasi sejarah dari Monas dan masa-masa pembangunannya. Melalui itu, saya dapat mengetahui bahwa dahulu Monas tidaklah seindah sekarang. Setelah 50 tahun pembangunan, Monas baru dilapisi emas pada bagian lidah apinya yang membuatnya tampak menawan. Taman Monas pun kini sudah sangat cantik dan indah tidak seperti dahulu yang masih sangat sederhana.

Puas menikmati berkeliling di ruang cawan Monas, kami menuju ke lift yang membawa kami ke puncak Monas. Meskipun sebelumnya kami harus membeli tiket lagi untuk naik ke puncak Monas, namun pemandangan yang kami saksikan di puncak Monas terlalu indah dan sama sekali tidak mengecewakan. Kami dapat melihat keindahan Jakarta dari tempat itu.
Dengan berat hati, kami pun akhirnya pulang. Namun, pengalaman ke Monas benar-benar menakjubkan dan tidak akan pernah saya lupakan.

A Moment to Remember


“A Moment to Remember”, film drama Korea yang dibintangi oleh sejumlah artis Korea ternama seperti JUNG Woo-sung dan SOHN Ye-jin adalah salah satu film yang wajib ditonton. Film ini sangat bagus, karena ide ceritanya sangat menarik dan akting para artis didalamnya pun tidak diragukan lagi kualitasnya. Menonton film ini membuat siapa saja dapat terharu karena kisahnya yang menyedihkan.

Ide utama dalam film ini tentang perjalanan hidup seorang wanita penderita Alzheimer dan kisah cintanya dengan seorang laki-laki. Dalam film yang berdurasi hampir dua jam ini, dikisahkan bagaimana KIM Su-jin, seorang penderita alzheimer menjalani hidupnya sejak ia mulai menjadi pribadi yang pelupa sampai ia mulai sedikit demi sedikit kehilangan memori dalam otaknya. Ia memiliki seorang kekasih bernama CHUI Choul-Soo yang kemudian menjadi suami yang sangat setia kepadanya. Hari-hari yang dilalui seorang penderita alzheimer seperti Su-jin tidaklah mudah, termasuk bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya. Perlahan-lahan, Su-jin pun mulai kehilangan ingatannya tentang berbagai hal. Sampai puncaknya, ia memanggil suaminya dengan nama mantan pacarnya.

Menurut saya, topik yang dibahas dalam film ini cukup relevan dengan masa kini karena cerita dalam film tersebut merupakan pengetahuan baru bagi masyarakat yang banyak memahami seperti apa penyakit alzeimer itu. Sebagian besar masyarakat mengerti bahwa penyakit alzheimer hanya akan menyerang manusia pada usia lanjut. Melalui film tersebut, masyarakat akan tahu bahwa alzheimer dapat juga menyerang usia di bawah 30 tahun. Masyarakat juga akan terpicu untuk mencari informasi lanjutan mengenai penyakit tersebut dan dapat lebih waspada akan kesehatannya.
Secara keseluruhan, alur dalam film “A Moment to Remember” tidak membingungkan dan dapat saya ikuti dengan baik. Alur maju atau progresif yang digunakan sutradara John H. Lee dalam menggarap film ini membuat ide cerita yang ingin disampaikan terlihat runtut. Selain itu, semua hal-hal penting dalam film tersebut dijelaskan dengan baik, sehingga saya dapat menangkap keseluruhan ide ceritanya.

Sudut pandang pokok penulis skenario dalam film Korea ini adalah sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Sehingga sebagai penonton, saya dapat merasakan perasaan semua tokoh utama yang ada di film ini.

Bila membicarakan masalah bias, menurut saya di dalam film ini tidak ada bias yang muncul. Maka, opini saya, tidak akan ada penonton yang salah mengasumsikan cerita secara berbeda dengan asumsi penulis skenario.

Namun, akhir cerita atau kesimpulan film tersebut dapat dikatakan kurang memadai. Hal itu disebabkan tidak tegasnya akhir cerita yang disampaikan. Setelah Su-jin berpisah dengan suaminya, Chui Choul-soo, dan tinggal di pondok khusus pasien alzheimer untuk beberapa lama sampai ia benar-benar tidak ingat siapa Choul-soo. Kemudian, Choul-soo menemui Su-jin di pondok tersebut. Lalu ia berusaha mengingatkan Su-jin tentang kejadian saat mereka pertama kali bertemu. Setelah itu, Su-jin terlihat begitu terharu dan bahagia. Akhirnya mereka pergi berdua dengan mobil dan terlihat mesra seperti layaknya sepasang kekasih. Di sinilah saya harus menerka-nerka sendiri kesimpulan akhir dari cerita ini. Saya merasa bingung apakah penyakit yang diderita tokoh utama akhirnya benar-benar dapat sembuh dan ia dapat mengingat kembali memori-memorinya yang sebelumnya hilang atau tidak. Pada akhirnya kesimpulan bahwa Su-jin sembuh dari penyakit alzheimernya dan dapat memiliki ingatannya kembali terkesan agak dipaksakan.

Jakarta dari Balik KRL Ekonomi

Jakarta dari Balik KRL Ekonomi
Sudah sejak kemarin saya berniat untuk pergi ke Jakarta pada hari ini, Kamis 28 Oktober 2010. Saya ingin pergi ke kantor teman saya di MNC Tower, Jakarta Pusat. Saya berencana untuk berangkat pukul 11.00 WIB dengan kereta ekonomi tujuan Stasiun Jakarta Kota agar dapat tiba di kantor teman saya tepat pada jam istirahat makan siang.
Setelah saya selesai bersiap-siap di kamar saya yang terletak di gedung E2 Asrama Mahasiswa UI Depok, saya berjalan menuju halte bis kuning (bikun) di depan asrama. Tak berapa lama kemudian ada bikun dengan jalur merah yang akan berangkat. Saya pun bergegas naik. Beberapa menit kemudian bus sampai di Stasiun UI. Saya berjalan menuju loket dan membeli 1 buah tiket kereta ekonomi tujuan Stasiun Jakarta Kota pukul 11.30 WIB. Saya duduk di tempat tunggu jalur 2. Calon penumpang di jalur 2 yang menuju ke arah Jakarta terlihat menumpuk. Hampir tidak ada kursi kosong di tempat tunggu calon penumpang. Namun di tempat tunggu jalur 1 yang menuju ke Bogor terlihat lengang. Hanya ada beberapa gelintir calon penumpang yang sedang menanti kereta mereka. Selain itu, di sebelah selatan stasiun tampak beberapa buruh sedang memperbaiki rel. Saya sempat agak merinding melihat mereka berkutat di antara besi-besi panjang tempat kereta rangkaian listrik lalu lalang di atasnya.
Setengah jam lebih saya menunggu, akhirnya kereta saya datang juga. Saya bisa mengenalinya dari jauh bukan hanya karena mendengar pengumuman stasiun, tetapi pemandangan yang sangat khas dari kereta ekonomi itulah yang menarik perhatian saya. Penumpang yang berjubel di pintu-pintu masuk tiap gerbong dan adanya penumpang-penumpang liar yang masih nekat naik ke atas gerbong meskipun hal tersebut sangat membahayakan keselamatan mereka. Kereta yang akan saya tumpangi ternyata juga sudah penuh penumpang. Saya terpaksa tetap masuk karena tidak ada pilihan lagi. Perjalanan panjang pun dimulai. Perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sekitar 30 menit ini terasa sangat panjang akibat kondisi gerbong yang sangat padat oleh penumpang. Hawa panas dari terik matahari ditambah dengan aroma keringat dari penumpang membuat perjalanan 30 menit di kereta serasa berjam-jam.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, banyak sekali terjadi hal-hal yang menarik perhatian saya. Di gerbong saya, ada bayi yang menangis meraung-raung tanpa henti. Suaranya membuat gerbong saya seakan semakin sesak. Entah apa yang membuat bayi tersebut tidak bisa berhenti menangis. Sang ibu pun tampak kesulitan menenangkan bayi itu. Saya yang sedikit terganggu dengan suara tangisan yang cukup keras itu berusaha mengalihkan fokus saya ke tempat lain.
Menjelang pukul 12.00 para pedagang asongan mulai hilir mudik melewati saya. Mulai dari penjual masker dan tissu, penjual air minum, penjual makanan ringan, tahu sumedang, alat tulis, buku mewarnai, berbagai jenis korek api, sampai racun tikus. Selain para penjaja tersebut, ada pula profesi lain yang mencari nafkah dari kereta padat penumpang ini. Menjadi pengamen karaoke adalah salah satunya. Biasanya para “penyanyi” tersebut membawa sound system beserta alat pemutar lagu dan microphone yang mereka kalungkan di leher mereka. Lagu-lagu yang diputar adalah lagu-lagu dangdut, jenis lagu yang dianggap paling merakyat dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Dengan berbekal suara yang, menurut saya, lumayan enak didengar, mereka menadahkan wadah untuk penumpang yang berkenan memberi uang recehan.
Sebenarnya saya agak kecewa tidak bisa melihat keluar jendela dengan bebas karena saya senang menikmati pemandangan di luar. Biasanya jika kita melihat keluar gerbong, kita bisa menyaksikan realita ibukota yang begitu mengenaskan. Di tengah-tengah kemegahan Jakarta dengan bangunan-bangunan mewah dan gedung-gedung pencakar langit, ada begitu banyak rakyat yang hidup dengan sangat tidak layak. Kerasnya hidup di kota besar membuat sebagian orang tidak mampu menyisakan penghasilan mereka untuk membangun sebuah tempat tinggal yang layak. Puluhan rumah-rumah liar berjejal di pinggir rel kereta api. Rumah-rumah tersebut hanya terbuat dari triplek-triplek bekas atau seng dan asbes-asbes bekas. Saya tidak sanggup membayangkan untuk tinggal di tempat seperti itu. Pada siang hari pasti rumah tersebut seperti tempat sauna bagi manusia yang berada di dalamnya.
Satu hal yang tidak saya sukai ketika naik KRL Ekonomi adalah tidak adanya pembatasan jumlah penumpang. Sehingga setiap kali kereta berhenti di sebuah stasiun, selalu ada penambahan penumpang meskipun gerbong sudah sangat penuh. Jumlah penumpang yang turun di setiap stasiun yang lebih sedikit dari jumlah penumpang baru semakin memperparah kondisi gerbong.
Akhirnya sekitar 30 menit kemudian saya tiba di Stasiun Gondangdia. Saya turun di stasiun tersebut dan langsung menemui teman saya untuk suatu urusan. Meskipun sudah sampai di tempat tujuan, namun kesan saya atas perjalanan saya di KRL Ekonomi sangatlah terkenang dan menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. Kerasnya kehidupan di kota besar seperti Jakarta dapat kita lihat dari salah satunya pemandangan saat kita naik KRL Ekonomi. Hal tersebut tentunya dapat mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas setiap hal yang kita miliki.

Kamis, 25 November 2010

my first...

blog ini adalah rekaman dari jejak-jejak kehidupan saya....
saya akan menorehkan secuil kisah saya dalam blog ini.
semoga dapat bermanfaat bagi saya dan siapapun yang membuka blog ini.
selamat menikmati :)