Minggu, 28 Oktober 2012

Jabatan: antara Amanah dan Prestige




 


Mungkin sebagian besar dari penduduk Indonesia sudah lelah menantikan terbentuknya pemerintahan Indonesia yang bersih, adil, jujur, dan memihak kepentingan rakyat. Menurut saya, pemerintahan yang seperti itu adalah utopia bagi bangsa Indonesia. Sesuatu yang sangat sulit terwujud.

Rakyat Indonesia tidak akan pernah tahu siapa sebenarnya orang yang mereka contreng ketika pemilu. Mereka tidak akan pernah tahu niat atau motif apa yang mendorong pra kandidat itu untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Apakah niat mereka tulus untuk menyejahterakan rakyat, atau hanya sekedar demi kepentingan pribadi dan kelompok. Sungguh, mereka tidak akan pernah tahu.

Yang rakyat tahu, hanya kepada calon-calon pemimpin itulah mereka mengantungkan harapan mereka. Harapan untuk dapat hidup lebih layak. Harapan untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Atau mungkin sekedar harapan kecil agar mereka tidak perlu memforsir diri mereka untuk dapat mengisi perut anak-anak mereka setiap hari.

Mereka mengingat setiap janji yang didengungkan oleh para calon pemimpin saat berkampanye. Namun, mereka pun tak berdaya ketika janji itu kemudian hanya terbang bersama waktu ketika jabatan telah melenakan para pemimpin terpilih.

Cerita “Rumah Perkara” yang dikisahkan dalam film Kita versus Korupsi adalah sentilan nyata bagi kehidupan politik di Indonesia. Betapa banyak para pemimpin yang “lupa” akan janji-janji indah mereka saat kampanye dahulu. Betapa banyak pemimpin yang akhirnya tergiur untuk menyalahgunakan wewenang dan kekuasan mereka demi kepentingan pribadi dan kelompok. Tercatat sebanyak 1.018 kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dari Januari hingga Agustus 2011. Political and Economic Risk Consultantcy Ltd (PERC) mengatakan Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi 8,32 pada tahun 2009 dan 9,10 pada tahun 2010, dan mendapatkan predikat sebagai negara terkorup ketiga di Asia setelah Vietnam dan Filipina.

Pak Yatna dalam cerita “Rumah Perkara” sukses merepresentasikan realita para pemimpin di negeri ini. Mengobral janji pada saat kampanye, lalu melupakannya begitu saja setelah ia tenggelam dalam nikmatnya tampuk kekuasaan.

Lalu pertanyaannya adalah kapan kah kita akan mendapatkan pemerintahan yang bersih, adil dan jujur? Jawabannya adalah ketika para pemimpin itu memiliki niat yang tulus nan lurus menyejahterakan rakyat. Mereka menganggap kekuasaan bukan sebagai akses politik kepada kekayaan-kekayaan negara. Mereka memandang kekuasaan sebagai amanah yang harus mereka pertanggungjawabkan kepada rakyat yang telah mempercayakan nasibnya kepada mereka. Jika para pemimpin berhenti memikirkan kepentingan pribadi dan golongan, dan menganggap jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, maka pada saat itulah kita bisa berharap Indonesia akan bersih, jujur dan adil.

Referensi:


Miskin, Bukan Alasan untuk Korupsi




Film Kita versus Korupsi adalah sebuah film yang mengangkat kasus-kasus korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Ada beberapa cerita pendek yang dikisahkan dalam film ini. Salah satu cerita yang paling menginspirasi saya adalah kisah yang berjudul “Selamat Pagi, Risa!”.

Film pendek yang disutradarai oleh Ine Febriyanti ini, mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga miskin di era 80an. Keluarga ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Risa dan seorang bayi laki-laki yang ketika itu sedang sakit. Perekonomian keluarga ini ditanggung oleh Pak Woko, kepala keluarga yang berprofesi sebagai buruh ketik dengan gaji pas-pasan dan istrinya yang menjadi penjahit di tengah kesibukannya mengurus anak-anak. Kondisi keuangan di keluarga ini sangat menyedihkan. Tidak hanya menahan diri dari pengeluaran yang sifatnya tersier, bahkan sekunder, keluarga ini pun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti beras dan obat-obatan.

Di tengah himpitan ekonomi yang begitu mencekik. Keluarga ini diuji dengan datangnya tawaran untuk melakukan korupsi. Seorang saudagar menawari Pak Woko untuk membantunya menimbun beras. Tujuan dari penimbunan beras ini tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya saat memasuki masa kelangkaan beras.

Kesulitan keuangan yang dialami keluarga Pak Woko ternyata tidaklah menggoyahkan pendirian Pak Woko untuk melakukan tindakan yang bisa merugikan masyarakat tersebut. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin menyesal seumur hidup dengan melakukan hal tersebut, meskipun ia sedang sangat membutuhkan uang.

Kejujuran dan ketegasan sosok ayah dalam cerita tersebut ternyata menginspirasi anaknya, Risa, ketika ia sudah dewasa. Risa tumbuh besar dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh ayahnya. Ia menolak uang suap yang ditawarkan kepadanya saat ia bekerja.

Saya sangat terharu melihat adegan Tora yang berperan sebagai Pak Woko ketika harus berusaha tegas menolak uang suap dari seorang penimbun beras sedangkan di ruangan yang lain, istrinya sedang harap-harap cemas menguping pembicaraan mereka. Sebagai seorang ibu rumah tangga, istri Pak Woko tahu betul kesulitan ekonomi yang mendera keluarga mereka. Sedih, bingung, dan bangga. Mungkin perasaan itulah yang muncul ketika akhirnya ia mendengar ungkapan penolakan dari suaminya. Sedih, karena artinya penderitaan keluarga mereka masih harus terus berlanjut. Namun bangga, karena memiliki suami yang berintregritas tinggi.

Kesulitan ekonomi seringkali menjadi alasan seseorang untuk melakukan korupsi. Cerita dalam film ini mengajarkan bahwa prinsip dan nilai yang kita anut tidak pantas digadaikan dalam kondisi apapun. Jika kita lengah sekali saja, maka penyesalan itu akan kita bawa seumur hidup kita.

Sebagai seorang perempuan, saya dapat membayangkan bagaimana dinamika emosi yang dirasakan oleh istri Pak Woko. Tentu seorang ibu rumah tangga, pasti berharap selalu ada uang untuk membeli baju baru, membeli kosmetik atau sekedar beras untuk menyambung hidup setiap hari. Yang membedakan ibu rumah tangga satu dengan yang lain adalah prinsip dan nilai yang dianut. Jika nilai kejujuran menjadi pegangan utama, tidak ada lagi istilah “melakukan apapun demi sesuap nasi”.

Jika aspek religiusitas juga diterapkan dalam konteks korupsi, maka tidak ada orang beriman yang rela mengisi perutnya dengan makanan “haram” yang berasal dari uang korupsi. Makanan “haram” tersebut nanti akan menjadi daging dan darah dalam tubuh individu yang mengkonsumsinya. Tidak ada seorang pun yang rela membiarkan bagian dari dirinya berasal dari sesuatu yang haram.

Pada akhirnya, semua orang berhak memilih di jalan apa ia akan berusaha. Hati nurani kita pun akan menuntun kita untuk menentukan jalan terbaik bagi kita. Apakah kita akan berbahagia di atas penderitaan orang lain, atau berbahagia karena kita berhasil memenangkan hati nurani kita di atas nafsu kita akan harta dan kekayaan.

Cerita “Selamat Pagi, Risa!” berhasil menangkap dan mengemas fenomena secara cerdas peperangan antara hati nurani dan hawa nafsu. Dan kita pun dipaparkan pada kenyataan bahwa kesejahteraan yang hakiki bukan dilihat dari seberapa kaya diri kita, tapi sejauh apa kita mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak menggadaikan prinsip hidup kita demi apapun.

Mencontek Itu (Tidak) Boleh



 

“Mulia bukan dilihat dari pencapaian yang kita dapatkan. Namun, bagaimana cara kita mencapai tujuan-tujuan kita. Sebuah kesuksesan yang hakiki, tidak akan pernah tercapai dengan kecurangan dan kebohongan”

Ungkapan diatas mungkin terdengar klasik bagi sebagian orang. Namun, pengalaman saya membuktikan bahwa kejujuran dalam bekerja lebih berharga daripada kesuksesan yang semu. Termasuk kesuksesan akademik.

Barangkali susah menemukan orang Indonesia yang seumur hidupnya tidak pernah mencontek. Mencontek menjadi suatu hal yang dianggap biasa. Seolah-olah ia sudah menjadi bagian dari kehidupan pelajar maupun mahasiswa. Waktu yang mendesak, tugas yang terlalu ribet, soal yang kelewat sulit dan segudang lagi ompute-alasan lain mendadak tersusun rapi ketika seorang pelajar ditanya mengapa ia mencontek. Semua ompute itu pun bermuara pada “menghalalakan segala cara” demi tujuan untuk meraih prestasi akedemik. Mendengar kata “mencontek” itu sendiri sesungguhnya mengingatkan saya pada suatu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan.

Waktu itu kelas 2 SMP. Saya ingat betul ketika itu sedang berlangsung mata pelajaran Teknik Informasi dan Komputer yang diajar oleh seorang guru muda laki-laki yang selalu bersemangat. 

Kami masih setengah linglung ketika Pak Guru yang baru sepersekian detik memasuki ruang kelas mengatakan kepada kami bahwa omputer ujian. Kelas berubah gaduh mendengar pengumuman ujian mendadak ini. Tidak ada satu pun di antara kami yang merasa siap.

Sayangnya, kegelisahan kami tidak bersambut. Pak Guru tetap meminta kami mempersiapkan alat tulis untuk mengerjakan ujian. Dengan wajah dingin, ia membagikan soal ujian kepada masing-masing anak. Setelah memastikan semua murid mendapakan soal, ia menyampaikan durasi pengerjaan ujian.

“Anak-anak, waktu pengerjaan ujian adalah 60 menit. Saya harus pergi dulu karena ada urusan. Sejam lagi saya kembali semua pekerjaan harus sudah selesai. Mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

Apa? Ditinggal? Ujian macam apa ini? Gerutu saya di dalam hati.

Kelas pun kembali gaduh sepeninggalan Pak Guru. Semua murid sibuk mencari contekan. Mulai dari membuka catatan sendiri, buku pelajaran, hingga mengerjakan ujian secara berjamaah. Saya pun tak luput dari ajakan mereka untuk mengerjakan ujian tersebut bersama-sama. Tidak akan ketahuan. Setiap murid akan mengatur soal-soal mana yang sengaja dijawab salah sehingga jawaban antar murid satu dan murid lain tidak terlihat sama. Begitu kata mereka.

Saya tetap mematung di kursi saya. Saya merasa mencontek bukan pilihan yang benar untuk mengerjakan ujian. Hati kecil saya menolak itu. Akhirnya, saya pun menjadi satu-satunya murid yang mengerjakan ujian tanpa mencontek sama sekali. Meskipun saya akui, saya pun tak yakin mampu menjawab soal-soal itu dengan benar.

Satu jam kemudian, Pak Guru omput. Semua murid sudah duduk rapi di kursi masing-masing seolah tidak terjadi sesuatu. Pak Guru meminta kami untuk menukarkan pekerjaan kami agar dikoreksi satu sama lain. Setelah dikoreksi, pekerjaan saya mendapatkan nilai yang sangat rendah.

Secara mengejutkan Pak Guru meminta kami untuk menyebutkan nilai kami satu per satu untuk dimasukkan ke dalam daftar nilai.

Oh, Tuhan mau ditaruh dimana muka saya? Saya pun merasa tak berdaya dan pasrah.

Seperti dugaan saya, nilai saya adalah nilai terendah di kelas. Malu bercampur sedih. Itulah yang saya rasakan ketika saya harus menyebutkan nilai saya. Tidak ada yang dapat saya perbuat saat itu. Seandainya saya bisa lari, atau sekedar menutupi wajah saya, mungkin sudah saya lakukan.

“Baik. Karena semua nilai sudah masuk, sekarang silakan kalian  ke laboratorium komputer dan bermain apa saja dengan komputer hingga jam pelajaran habis. Tapi khusus untuk Ria, saya ingin kamu tinggal di kelas dulu.”

Wajah saya pun mendadak memerah. Takut. Darah yang mengalir di tubuh saya mendadak terasa panas.

“Sini kamu.” Ujar Pak Guru sambil menunjuk bangku di depan mejanya. Saya berjalan lambat seolah ada sekarung beras yang terikat di kaki saya.

“Maaf, Pak. Saya tahu nilai saya adalah yang paling jelek di kelas ini. Tapi saya berusaha untuk mengerjakannya sendiri, Pak. Maafkan saya,” tenggorokan saya terasa tercekat setelah kata-kata barusan saya lontarkan. Saya tidak sanggup membayangkan makian-makian atau sekadar ungkapan kekecewaan seorang guru yang mungkin sebentar lagi akan saya dengar dari guru favorit saya itu.

“Iya, saya sudah tau kok. Saya tahu kamu telah berusaha untuk jujur. Oleh karena itu saya memanggil kamu. Saya ingin memberikan nilai 100 untuk pekerjaanmu.”

“Tapi Pak, apakah ini adil? Bagaimana dengan teman-teman lain? Nilai saya kan nilai terendah di kelas ini.” Ujar saya memotong kalimat Pak Guru.

“Hmm, mungkin nilai ini tidak berarti banyak. Namun, ini adalah apresiasi saya atas kejujuran kamu. Saya bangga dengan kamu,”ungkap Pak Guru sambil menepuk bahu saya.

Air mata saya pun meleleh. Saya tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati saya. Rasa haru, sekaligus bangga bercampur menjadi satu. Kejadian ini pun kemudian menjadi inspirasi seumur hidup bagi saya.
Dimana pun kita berada, ada dan tanpa kehadiran orang lain, Tuhan selalu mengawasi perbuatan kita. Dan Dia lah yang akan membalas setiap kebaikan maupun keburukan yang kita lakukan.