Film bergenre fantasi romantis ini mengisahkan tentang sebuah hubungan toksik sepasang kekasih dimana seorang gadis “menghilang” alias tak kasat mata, tidak bisa dilihat siapapun termasuk kekasihnya, kecuali orang seorang sahabat yang ternyata diam2 tulus mencintainya. Film ini dibintangi oleh aktor-aktor yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya di dunia peran seperti Reza Rahardian, Sheila Dara Aisha dan Dion Wiyoko. Film besutan sutradara Yandy Laurens ini juga mengangkat cerita drama yang tidak biasa. Seperti biasanya, Yandy selalu menyajikan film yang membuat penontonnya akan berpikir dan merenung lebih dalam terkait isu-isu yang ia angkat dalam filmnya.
Yang paling menarik dalam film ini adalah bagaimana seorang Dara menghilang, dan bagaimana ia bisa terlihat kembali. Ia akan menghilang setiap kali ia selesai bersitegang dengan Rendra kekasihnya. Rendra adalah sosok yang sangat dominan, manipulatif, otoriter, tidak empatik dan egosentris. Mungkin anak jaman sekarang langsung paham kalau kita menyebut Rendra sebagai tokoh NPD yang sempurna alias orang dengan Narcissistic Personality Disorder. Orang dengan NPD dikenal memiliki rasa superioritas yang tidak realistis, ingin dikagumi secara berlebihan, arogan, kurangnya empati, sombong dan cenderung merendahkan orang lain. Rendra selalu menunjukkan bahwa Dara itu tidak setara dengannya, tidak berharga, tidak dicintai bahkan tidak dipedulikan oleh siapapun. Hanya ia satu-satunya orang yang menurutnya mampu menerima Dara yang sebegitu buruknya sehingga orang lain tidak mungkin mampu menerimanya. Berkali-kali ia sering mengatakan dalam setiap kali perdebatan, “Kalau bukan aku, siapa lagi yang mau menikahimu. Tidak ada yang peduli padamu.” Setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Rendra bagaikan pedang katana yang saking tajamnya, korban sampai tidak sempat menyadari bahwa tubuhnya telah terpotong dalam sekali sabetan. Ucapan-ucapan Rendra pada Dara adalah bentuk penyangkalan yang nyata atas eksistensi dan jati diri Dara.
Dara bukanlah siapa-siapa tanpa Rendra. Setidaknya, itulah yang dipercayai Dara. Kehadiran Dara di dunia ini tidak berarti untuk siapapun, kecuali Rendra. Rendra telah mengikat Dara dalam ikatan hubungan paling erat, paling toksik, tapi sekaligus paling sulit dilepaskan. Ia membuat Dara berpikir bahwa semua yang dilakukan Rendra kepadanya adalah untuk kebaikannya, sekalipun itu menyakitinya baik secara mental bahkan secara fisik. Hubungan itu menumbuhkan keyakinan pada Dara, bahwa hanya Rendra yang mencintainya, menerimanya apa adanya dan peduli padanya. Keyakinan itu pula yang membuatnya lebih sakit saat terjatuh, karena merasa sudah gagal di hadapan satu-satunya laki-laki yang mau menerimanya.
Dalam teori Victor Frankl, motivasi utama manusia adalah mencari makna hidup yang dapat ditemukan melalui karya, pengalaman atau sikap dalam menghadapi penderitaan yang tak terhindarkan. Dara sebenarnya secara konsisten menghasilkan karya berupa masakan yang memang sudah menjadi hobinya sejak lama, hingga mendapatkan penghargaan setingkat internasional. Namun, kebanggaan itu dipatahkan oleh Rendra yang tidak mengganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang penting dan malah mengarahkannya untuk beralih ke bidang pekerjaan yang lain. Kedua, pengalaman yang dimiliki Dara terkait relasi cinta sangat terbatas dan cenderung negatif. Ia menyaksikan hubungan suami-istri pada ayah dan ibunya kurang harmonis sejak kecil. Mereka kerapkali bertengkar dikarenakan ibunya yang tidak menghargai dan mengganggap remeh pekerjaan ayahnya. Ketiga, sejak menjadi kekasih Rendra, Dara tidak bebas dalam menentukan sikap untuk mengatasi masalah atau penderitaannya. Segala keputusan dalam hidup Dara sepenuhnya diatur oleh Rendra. Dari sini, kita bisa melihat bahwa Dara benar-benar kehilangan makna hidupnya, jika ditinjau dari teori Victor Frankl.
Antiklimaks dari serial ini adalah ketika pada akhirnya dua tokoh utama, yaitu Dara dan Satria, sahabatnya yang sudah mencintainya sejak kecil dengan tulus, memutuskan untuk mencari makna hidup mereka masing-masing. Dara yang selama ini hidupnya disetir oleh Rendra, berkomitmen untuk memperbaiki hidupnya dan akhirnya menemukan jalan hidupnya sendiri yang betul-betul bermakna baginya. Begitupun Satria, selama ini cintanya kepada Dara tidak hanya memenuhi ruang dadanya, tapi jauh melebihi itu. Banyak keputusan-keputusan penting dalam hidup Satria sangat dipengaruhi oleh cintanya kepada Dara dan motivasinya untuk bertemu dengan Dara. Setelah berpisah lagi dengan Dara, Satria berupaya menemukan kembali makna hidupnya yang tidak berkaitan lagi dengan Dara.
Alur cerita di serial ini memang terasa sangat lambat, monoton dan minim konflik. Tapi sang sutradara mengajak kita menyelami konflik internal dalam diri para tokoh yang cenderung tak kasat mata. Krisis identitas dan pencarian jati diri para tokoh, mengajak penonton untuk mempertanyakan lagi makna hidup masing-masing. Hal ini yang jarang disadari oleh manusia di kondisi modern ini. Banyak orang hidup tanpa tujuan. Menjalani hidup tanpa mengerti hal apa yang membuatnya bermakna sehingga orang seringkali mudah jatuh saat diterpa hinaan, kritik, atau perlakuan buruk dari orang lain. Sulit bangkit ketika menghadapi masalah, dan terpuruk dalam penderitaan hidup yang memang secara secara hukum alam akan selalu hadir selama kita bernafas. Sejatinya, perjalanan mencari makna hidup menurut saya sendiri adalah sebuah perjalanan panjang manusia sampai akhir hayatnya. Karena manusia itu dinamis, maka penghayatan terhadap makna hidup pun juga dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang dialami. Jadi pertanyaannya adalah bukan lagi apa yang membuatmu senang, tapi apa yang membuatmu begitu bermakna dalam hidup?