Sabtu, 27 November 2010

Jakarta dari Balik KRL Ekonomi

Jakarta dari Balik KRL Ekonomi
Sudah sejak kemarin saya berniat untuk pergi ke Jakarta pada hari ini, Kamis 28 Oktober 2010. Saya ingin pergi ke kantor teman saya di MNC Tower, Jakarta Pusat. Saya berencana untuk berangkat pukul 11.00 WIB dengan kereta ekonomi tujuan Stasiun Jakarta Kota agar dapat tiba di kantor teman saya tepat pada jam istirahat makan siang.
Setelah saya selesai bersiap-siap di kamar saya yang terletak di gedung E2 Asrama Mahasiswa UI Depok, saya berjalan menuju halte bis kuning (bikun) di depan asrama. Tak berapa lama kemudian ada bikun dengan jalur merah yang akan berangkat. Saya pun bergegas naik. Beberapa menit kemudian bus sampai di Stasiun UI. Saya berjalan menuju loket dan membeli 1 buah tiket kereta ekonomi tujuan Stasiun Jakarta Kota pukul 11.30 WIB. Saya duduk di tempat tunggu jalur 2. Calon penumpang di jalur 2 yang menuju ke arah Jakarta terlihat menumpuk. Hampir tidak ada kursi kosong di tempat tunggu calon penumpang. Namun di tempat tunggu jalur 1 yang menuju ke Bogor terlihat lengang. Hanya ada beberapa gelintir calon penumpang yang sedang menanti kereta mereka. Selain itu, di sebelah selatan stasiun tampak beberapa buruh sedang memperbaiki rel. Saya sempat agak merinding melihat mereka berkutat di antara besi-besi panjang tempat kereta rangkaian listrik lalu lalang di atasnya.
Setengah jam lebih saya menunggu, akhirnya kereta saya datang juga. Saya bisa mengenalinya dari jauh bukan hanya karena mendengar pengumuman stasiun, tetapi pemandangan yang sangat khas dari kereta ekonomi itulah yang menarik perhatian saya. Penumpang yang berjubel di pintu-pintu masuk tiap gerbong dan adanya penumpang-penumpang liar yang masih nekat naik ke atas gerbong meskipun hal tersebut sangat membahayakan keselamatan mereka. Kereta yang akan saya tumpangi ternyata juga sudah penuh penumpang. Saya terpaksa tetap masuk karena tidak ada pilihan lagi. Perjalanan panjang pun dimulai. Perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu sekitar 30 menit ini terasa sangat panjang akibat kondisi gerbong yang sangat padat oleh penumpang. Hawa panas dari terik matahari ditambah dengan aroma keringat dari penumpang membuat perjalanan 30 menit di kereta serasa berjam-jam.
Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, banyak sekali terjadi hal-hal yang menarik perhatian saya. Di gerbong saya, ada bayi yang menangis meraung-raung tanpa henti. Suaranya membuat gerbong saya seakan semakin sesak. Entah apa yang membuat bayi tersebut tidak bisa berhenti menangis. Sang ibu pun tampak kesulitan menenangkan bayi itu. Saya yang sedikit terganggu dengan suara tangisan yang cukup keras itu berusaha mengalihkan fokus saya ke tempat lain.
Menjelang pukul 12.00 para pedagang asongan mulai hilir mudik melewati saya. Mulai dari penjual masker dan tissu, penjual air minum, penjual makanan ringan, tahu sumedang, alat tulis, buku mewarnai, berbagai jenis korek api, sampai racun tikus. Selain para penjaja tersebut, ada pula profesi lain yang mencari nafkah dari kereta padat penumpang ini. Menjadi pengamen karaoke adalah salah satunya. Biasanya para “penyanyi” tersebut membawa sound system beserta alat pemutar lagu dan microphone yang mereka kalungkan di leher mereka. Lagu-lagu yang diputar adalah lagu-lagu dangdut, jenis lagu yang dianggap paling merakyat dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Dengan berbekal suara yang, menurut saya, lumayan enak didengar, mereka menadahkan wadah untuk penumpang yang berkenan memberi uang recehan.
Sebenarnya saya agak kecewa tidak bisa melihat keluar jendela dengan bebas karena saya senang menikmati pemandangan di luar. Biasanya jika kita melihat keluar gerbong, kita bisa menyaksikan realita ibukota yang begitu mengenaskan. Di tengah-tengah kemegahan Jakarta dengan bangunan-bangunan mewah dan gedung-gedung pencakar langit, ada begitu banyak rakyat yang hidup dengan sangat tidak layak. Kerasnya hidup di kota besar membuat sebagian orang tidak mampu menyisakan penghasilan mereka untuk membangun sebuah tempat tinggal yang layak. Puluhan rumah-rumah liar berjejal di pinggir rel kereta api. Rumah-rumah tersebut hanya terbuat dari triplek-triplek bekas atau seng dan asbes-asbes bekas. Saya tidak sanggup membayangkan untuk tinggal di tempat seperti itu. Pada siang hari pasti rumah tersebut seperti tempat sauna bagi manusia yang berada di dalamnya.
Satu hal yang tidak saya sukai ketika naik KRL Ekonomi adalah tidak adanya pembatasan jumlah penumpang. Sehingga setiap kali kereta berhenti di sebuah stasiun, selalu ada penambahan penumpang meskipun gerbong sudah sangat penuh. Jumlah penumpang yang turun di setiap stasiun yang lebih sedikit dari jumlah penumpang baru semakin memperparah kondisi gerbong.
Akhirnya sekitar 30 menit kemudian saya tiba di Stasiun Gondangdia. Saya turun di stasiun tersebut dan langsung menemui teman saya untuk suatu urusan. Meskipun sudah sampai di tempat tujuan, namun kesan saya atas perjalanan saya di KRL Ekonomi sangatlah terkenang dan menjadi pelajaran tersendiri bagi saya. Kerasnya kehidupan di kota besar seperti Jakarta dapat kita lihat dari salah satunya pemandangan saat kita naik KRL Ekonomi. Hal tersebut tentunya dapat mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur atas setiap hal yang kita miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar