“Mulia
bukan dilihat dari pencapaian yang kita dapatkan. Namun, bagaimana cara kita
mencapai tujuan-tujuan kita. Sebuah kesuksesan yang hakiki, tidak akan pernah
tercapai dengan kecurangan dan kebohongan”
Ungkapan diatas mungkin terdengar klasik
bagi sebagian orang. Namun, pengalaman saya membuktikan bahwa kejujuran dalam
bekerja lebih
berharga daripada kesuksesan yang semu. Termasuk kesuksesan akademik.
Barangkali susah menemukan orang Indonesia
yang seumur hidupnya tidak pernah mencontek. Mencontek menjadi suatu hal yang
dianggap biasa. Seolah-olah ia sudah menjadi bagian dari kehidupan pelajar
maupun mahasiswa. Waktu yang mendesak, tugas yang terlalu ribet, soal yang kelewat sulit
dan segudang lagi ompute-alasan lain mendadak tersusun rapi ketika seorang
pelajar ditanya mengapa ia mencontek. Semua ompute itu pun bermuara pada “menghalalakan segala cara” demi tujuan untuk meraih prestasi akedemik. Mendengar kata “mencontek”
itu sendiri sesungguhnya mengingatkan saya pada suatu kejadian yang tidak akan
pernah saya lupakan.
Waktu itu kelas 2 SMP. Saya ingat betul
ketika itu sedang berlangsung mata pelajaran Teknik Informasi dan Komputer yang
diajar oleh seorang guru muda laki-laki yang selalu bersemangat.
Kami masih setengah linglung ketika Pak
Guru yang baru sepersekian detik memasuki ruang kelas mengatakan kepada kami
bahwa omputer ujian. Kelas berubah gaduh mendengar pengumuman ujian mendadak
ini. Tidak ada satu pun di antara kami yang merasa siap.
Sayangnya, kegelisahan kami tidak
bersambut. Pak Guru tetap meminta kami mempersiapkan alat tulis untuk
mengerjakan ujian. Dengan wajah dingin, ia membagikan soal ujian kepada
masing-masing anak. Setelah memastikan semua murid mendapakan soal, ia
menyampaikan durasi pengerjaan ujian.
“Anak-anak, waktu pengerjaan ujian adalah
60 menit. Saya harus pergi dulu karena ada urusan. Sejam lagi saya kembali
semua pekerjaan harus sudah selesai. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
Apa?
Ditinggal? Ujian macam apa ini? Gerutu saya di
dalam hati.
Kelas pun kembali gaduh sepeninggalan Pak
Guru. Semua murid sibuk mencari contekan. Mulai dari membuka catatan sendiri,
buku pelajaran, hingga mengerjakan ujian secara berjamaah. Saya pun tak luput
dari ajakan mereka untuk mengerjakan ujian tersebut bersama-sama. Tidak akan
ketahuan. Setiap murid akan mengatur soal-soal mana yang sengaja dijawab salah
sehingga jawaban antar murid satu dan murid lain tidak terlihat sama. Begitu
kata mereka.
Saya tetap mematung di kursi saya. Saya
merasa mencontek bukan pilihan yang benar untuk mengerjakan ujian. Hati kecil
saya menolak itu. Akhirnya, saya pun menjadi satu-satunya murid yang
mengerjakan ujian tanpa mencontek sama sekali. Meskipun saya akui, saya pun tak
yakin mampu menjawab soal-soal itu dengan benar.
Satu jam kemudian, Pak Guru omput. Semua
murid sudah duduk rapi di kursi masing-masing seolah tidak terjadi sesuatu. Pak Guru meminta
kami untuk menukarkan pekerjaan kami agar dikoreksi satu sama lain. Setelah
dikoreksi, pekerjaan saya mendapatkan nilai yang sangat rendah.
Secara mengejutkan Pak Guru meminta kami untuk menyebutkan nilai kami satu
per satu untuk dimasukkan ke dalam daftar nilai.
Oh,
Tuhan mau ditaruh dimana muka saya? Saya pun merasa
tak berdaya dan pasrah.
Seperti dugaan saya, nilai saya adalah
nilai terendah di kelas. Malu bercampur sedih. Itulah yang saya rasakan ketika saya harus menyebutkan
nilai saya. Tidak ada yang dapat saya perbuat saat itu. Seandainya saya bisa lari, atau sekedar menutupi
wajah saya, mungkin sudah saya lakukan.
“Baik. Karena semua nilai sudah masuk,
sekarang silakan kalian ke laboratorium komputer dan bermain apa
saja dengan komputer hingga jam pelajaran habis. Tapi khusus untuk Ria, saya ingin kamu
tinggal di kelas dulu.”
Wajah saya pun mendadak memerah. Takut.
Darah yang mengalir di tubuh saya mendadak terasa panas.
“Sini kamu.” Ujar Pak Guru sambil menunjuk
bangku di depan mejanya. Saya berjalan lambat seolah ada sekarung beras yang
terikat di kaki saya.
“Maaf, Pak. Saya tahu nilai saya adalah
yang paling jelek di kelas ini. Tapi saya berusaha untuk mengerjakannya
sendiri, Pak. Maafkan saya,” tenggorokan saya terasa tercekat setelah kata-kata
barusan saya lontarkan. Saya tidak sanggup membayangkan makian-makian atau
sekadar ungkapan kekecewaan seorang guru yang mungkin sebentar lagi akan saya
dengar dari guru favorit saya itu.
“Iya, saya sudah tau kok. Saya tahu kamu
telah berusaha untuk jujur. Oleh karena itu saya memanggil kamu. Saya ingin
memberikan nilai 100 untuk pekerjaanmu.”
“Tapi Pak, apakah ini adil? Bagaimana
dengan teman-teman lain? Nilai saya kan nilai terendah di kelas ini.” Ujar saya
memotong kalimat Pak Guru.
“Hmm, mungkin nilai ini tidak berarti
banyak. Namun, ini adalah apresiasi saya atas kejujuran kamu. Saya bangga
dengan kamu,”ungkap Pak Guru sambil
menepuk bahu saya.
Air mata saya pun meleleh. Saya tidak tahu
perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati saya. Rasa haru, sekaligus bangga
bercampur menjadi satu. Kejadian ini pun kemudian menjadi inspirasi seumur
hidup bagi saya.
Dimana pun kita berada,
ada dan tanpa kehadiran orang lain, Tuhan selalu mengawasi perbuatan kita. Dan
Dia lah yang akan membalas setiap kebaikan maupun keburukan yang kita lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar