Minggu, 28 Oktober 2012

Mencontek Itu (Tidak) Boleh



 

“Mulia bukan dilihat dari pencapaian yang kita dapatkan. Namun, bagaimana cara kita mencapai tujuan-tujuan kita. Sebuah kesuksesan yang hakiki, tidak akan pernah tercapai dengan kecurangan dan kebohongan”

Ungkapan diatas mungkin terdengar klasik bagi sebagian orang. Namun, pengalaman saya membuktikan bahwa kejujuran dalam bekerja lebih berharga daripada kesuksesan yang semu. Termasuk kesuksesan akademik.

Barangkali susah menemukan orang Indonesia yang seumur hidupnya tidak pernah mencontek. Mencontek menjadi suatu hal yang dianggap biasa. Seolah-olah ia sudah menjadi bagian dari kehidupan pelajar maupun mahasiswa. Waktu yang mendesak, tugas yang terlalu ribet, soal yang kelewat sulit dan segudang lagi ompute-alasan lain mendadak tersusun rapi ketika seorang pelajar ditanya mengapa ia mencontek. Semua ompute itu pun bermuara pada “menghalalakan segala cara” demi tujuan untuk meraih prestasi akedemik. Mendengar kata “mencontek” itu sendiri sesungguhnya mengingatkan saya pada suatu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan.

Waktu itu kelas 2 SMP. Saya ingat betul ketika itu sedang berlangsung mata pelajaran Teknik Informasi dan Komputer yang diajar oleh seorang guru muda laki-laki yang selalu bersemangat. 

Kami masih setengah linglung ketika Pak Guru yang baru sepersekian detik memasuki ruang kelas mengatakan kepada kami bahwa omputer ujian. Kelas berubah gaduh mendengar pengumuman ujian mendadak ini. Tidak ada satu pun di antara kami yang merasa siap.

Sayangnya, kegelisahan kami tidak bersambut. Pak Guru tetap meminta kami mempersiapkan alat tulis untuk mengerjakan ujian. Dengan wajah dingin, ia membagikan soal ujian kepada masing-masing anak. Setelah memastikan semua murid mendapakan soal, ia menyampaikan durasi pengerjaan ujian.

“Anak-anak, waktu pengerjaan ujian adalah 60 menit. Saya harus pergi dulu karena ada urusan. Sejam lagi saya kembali semua pekerjaan harus sudah selesai. Mengerti?”

“Mengerti, Pak.”

Apa? Ditinggal? Ujian macam apa ini? Gerutu saya di dalam hati.

Kelas pun kembali gaduh sepeninggalan Pak Guru. Semua murid sibuk mencari contekan. Mulai dari membuka catatan sendiri, buku pelajaran, hingga mengerjakan ujian secara berjamaah. Saya pun tak luput dari ajakan mereka untuk mengerjakan ujian tersebut bersama-sama. Tidak akan ketahuan. Setiap murid akan mengatur soal-soal mana yang sengaja dijawab salah sehingga jawaban antar murid satu dan murid lain tidak terlihat sama. Begitu kata mereka.

Saya tetap mematung di kursi saya. Saya merasa mencontek bukan pilihan yang benar untuk mengerjakan ujian. Hati kecil saya menolak itu. Akhirnya, saya pun menjadi satu-satunya murid yang mengerjakan ujian tanpa mencontek sama sekali. Meskipun saya akui, saya pun tak yakin mampu menjawab soal-soal itu dengan benar.

Satu jam kemudian, Pak Guru omput. Semua murid sudah duduk rapi di kursi masing-masing seolah tidak terjadi sesuatu. Pak Guru meminta kami untuk menukarkan pekerjaan kami agar dikoreksi satu sama lain. Setelah dikoreksi, pekerjaan saya mendapatkan nilai yang sangat rendah.

Secara mengejutkan Pak Guru meminta kami untuk menyebutkan nilai kami satu per satu untuk dimasukkan ke dalam daftar nilai.

Oh, Tuhan mau ditaruh dimana muka saya? Saya pun merasa tak berdaya dan pasrah.

Seperti dugaan saya, nilai saya adalah nilai terendah di kelas. Malu bercampur sedih. Itulah yang saya rasakan ketika saya harus menyebutkan nilai saya. Tidak ada yang dapat saya perbuat saat itu. Seandainya saya bisa lari, atau sekedar menutupi wajah saya, mungkin sudah saya lakukan.

“Baik. Karena semua nilai sudah masuk, sekarang silakan kalian  ke laboratorium komputer dan bermain apa saja dengan komputer hingga jam pelajaran habis. Tapi khusus untuk Ria, saya ingin kamu tinggal di kelas dulu.”

Wajah saya pun mendadak memerah. Takut. Darah yang mengalir di tubuh saya mendadak terasa panas.

“Sini kamu.” Ujar Pak Guru sambil menunjuk bangku di depan mejanya. Saya berjalan lambat seolah ada sekarung beras yang terikat di kaki saya.

“Maaf, Pak. Saya tahu nilai saya adalah yang paling jelek di kelas ini. Tapi saya berusaha untuk mengerjakannya sendiri, Pak. Maafkan saya,” tenggorokan saya terasa tercekat setelah kata-kata barusan saya lontarkan. Saya tidak sanggup membayangkan makian-makian atau sekadar ungkapan kekecewaan seorang guru yang mungkin sebentar lagi akan saya dengar dari guru favorit saya itu.

“Iya, saya sudah tau kok. Saya tahu kamu telah berusaha untuk jujur. Oleh karena itu saya memanggil kamu. Saya ingin memberikan nilai 100 untuk pekerjaanmu.”

“Tapi Pak, apakah ini adil? Bagaimana dengan teman-teman lain? Nilai saya kan nilai terendah di kelas ini.” Ujar saya memotong kalimat Pak Guru.

“Hmm, mungkin nilai ini tidak berarti banyak. Namun, ini adalah apresiasi saya atas kejujuran kamu. Saya bangga dengan kamu,”ungkap Pak Guru sambil menepuk bahu saya.

Air mata saya pun meleleh. Saya tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati saya. Rasa haru, sekaligus bangga bercampur menjadi satu. Kejadian ini pun kemudian menjadi inspirasi seumur hidup bagi saya.
Dimana pun kita berada, ada dan tanpa kehadiran orang lain, Tuhan selalu mengawasi perbuatan kita. Dan Dia lah yang akan membalas setiap kebaikan maupun keburukan yang kita lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar