Minggu, 28 Oktober 2012

Miskin, Bukan Alasan untuk Korupsi




Film Kita versus Korupsi adalah sebuah film yang mengangkat kasus-kasus korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Ada beberapa cerita pendek yang dikisahkan dalam film ini. Salah satu cerita yang paling menginspirasi saya adalah kisah yang berjudul “Selamat Pagi, Risa!”.

Film pendek yang disutradarai oleh Ine Febriyanti ini, mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga miskin di era 80an. Keluarga ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Risa dan seorang bayi laki-laki yang ketika itu sedang sakit. Perekonomian keluarga ini ditanggung oleh Pak Woko, kepala keluarga yang berprofesi sebagai buruh ketik dengan gaji pas-pasan dan istrinya yang menjadi penjahit di tengah kesibukannya mengurus anak-anak. Kondisi keuangan di keluarga ini sangat menyedihkan. Tidak hanya menahan diri dari pengeluaran yang sifatnya tersier, bahkan sekunder, keluarga ini pun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti beras dan obat-obatan.

Di tengah himpitan ekonomi yang begitu mencekik. Keluarga ini diuji dengan datangnya tawaran untuk melakukan korupsi. Seorang saudagar menawari Pak Woko untuk membantunya menimbun beras. Tujuan dari penimbunan beras ini tidak lain adalah untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya saat memasuki masa kelangkaan beras.

Kesulitan keuangan yang dialami keluarga Pak Woko ternyata tidaklah menggoyahkan pendirian Pak Woko untuk melakukan tindakan yang bisa merugikan masyarakat tersebut. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin menyesal seumur hidup dengan melakukan hal tersebut, meskipun ia sedang sangat membutuhkan uang.

Kejujuran dan ketegasan sosok ayah dalam cerita tersebut ternyata menginspirasi anaknya, Risa, ketika ia sudah dewasa. Risa tumbuh besar dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh ayahnya. Ia menolak uang suap yang ditawarkan kepadanya saat ia bekerja.

Saya sangat terharu melihat adegan Tora yang berperan sebagai Pak Woko ketika harus berusaha tegas menolak uang suap dari seorang penimbun beras sedangkan di ruangan yang lain, istrinya sedang harap-harap cemas menguping pembicaraan mereka. Sebagai seorang ibu rumah tangga, istri Pak Woko tahu betul kesulitan ekonomi yang mendera keluarga mereka. Sedih, bingung, dan bangga. Mungkin perasaan itulah yang muncul ketika akhirnya ia mendengar ungkapan penolakan dari suaminya. Sedih, karena artinya penderitaan keluarga mereka masih harus terus berlanjut. Namun bangga, karena memiliki suami yang berintregritas tinggi.

Kesulitan ekonomi seringkali menjadi alasan seseorang untuk melakukan korupsi. Cerita dalam film ini mengajarkan bahwa prinsip dan nilai yang kita anut tidak pantas digadaikan dalam kondisi apapun. Jika kita lengah sekali saja, maka penyesalan itu akan kita bawa seumur hidup kita.

Sebagai seorang perempuan, saya dapat membayangkan bagaimana dinamika emosi yang dirasakan oleh istri Pak Woko. Tentu seorang ibu rumah tangga, pasti berharap selalu ada uang untuk membeli baju baru, membeli kosmetik atau sekedar beras untuk menyambung hidup setiap hari. Yang membedakan ibu rumah tangga satu dengan yang lain adalah prinsip dan nilai yang dianut. Jika nilai kejujuran menjadi pegangan utama, tidak ada lagi istilah “melakukan apapun demi sesuap nasi”.

Jika aspek religiusitas juga diterapkan dalam konteks korupsi, maka tidak ada orang beriman yang rela mengisi perutnya dengan makanan “haram” yang berasal dari uang korupsi. Makanan “haram” tersebut nanti akan menjadi daging dan darah dalam tubuh individu yang mengkonsumsinya. Tidak ada seorang pun yang rela membiarkan bagian dari dirinya berasal dari sesuatu yang haram.

Pada akhirnya, semua orang berhak memilih di jalan apa ia akan berusaha. Hati nurani kita pun akan menuntun kita untuk menentukan jalan terbaik bagi kita. Apakah kita akan berbahagia di atas penderitaan orang lain, atau berbahagia karena kita berhasil memenangkan hati nurani kita di atas nafsu kita akan harta dan kekayaan.

Cerita “Selamat Pagi, Risa!” berhasil menangkap dan mengemas fenomena secara cerdas peperangan antara hati nurani dan hawa nafsu. Dan kita pun dipaparkan pada kenyataan bahwa kesejahteraan yang hakiki bukan dilihat dari seberapa kaya diri kita, tapi sejauh apa kita mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak menggadaikan prinsip hidup kita demi apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar