Film Kita versus Korupsi
adalah sebuah film yang mengangkat kasus-kasus korupsi yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari kita. Ada beberapa cerita pendek yang dikisahkan
dalam film ini. Salah satu cerita yang paling menginspirasi saya adalah kisah
yang berjudul “Selamat Pagi, Risa!”.
Film pendek yang
disutradarai oleh Ine Febriyanti ini, mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga
miskin di era 80an. Keluarga ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Risa
dan seorang bayi laki-laki yang ketika itu sedang sakit. Perekonomian keluarga
ini ditanggung oleh Pak Woko, kepala keluarga yang berprofesi sebagai buruh
ketik dengan gaji pas-pasan dan istrinya yang menjadi penjahit di tengah
kesibukannya mengurus anak-anak. Kondisi keuangan di keluarga ini sangat
menyedihkan. Tidak hanya menahan diri dari pengeluaran yang sifatnya tersier,
bahkan sekunder, keluarga ini pun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok
seperti beras dan obat-obatan.
Di tengah himpitan
ekonomi yang begitu mencekik. Keluarga ini diuji dengan datangnya tawaran untuk
melakukan korupsi. Seorang saudagar menawari Pak Woko untuk membantunya
menimbun beras. Tujuan dari penimbunan beras ini tidak lain adalah untuk
mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya saat memasuki masa kelangkaan beras.
Kesulitan keuangan yang
dialami keluarga Pak Woko ternyata tidaklah menggoyahkan pendirian Pak Woko
untuk melakukan tindakan yang bisa merugikan masyarakat tersebut. Ia mengatakan
bahwa ia tidak ingin menyesal seumur hidup dengan melakukan hal tersebut,
meskipun ia sedang sangat membutuhkan uang.
Kejujuran dan ketegasan
sosok ayah dalam cerita tersebut ternyata menginspirasi anaknya, Risa, ketika
ia sudah dewasa. Risa tumbuh besar dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan oleh
ayahnya. Ia menolak uang suap yang ditawarkan kepadanya saat ia bekerja.
Saya sangat terharu
melihat adegan Tora yang berperan sebagai Pak Woko ketika harus berusaha tegas
menolak uang suap dari seorang penimbun beras sedangkan di ruangan yang lain,
istrinya sedang harap-harap cemas menguping pembicaraan mereka. Sebagai seorang
ibu rumah tangga, istri Pak Woko tahu betul kesulitan ekonomi yang mendera
keluarga mereka. Sedih, bingung, dan bangga. Mungkin perasaan itulah yang
muncul ketika akhirnya ia mendengar ungkapan penolakan dari suaminya. Sedih,
karena artinya penderitaan keluarga mereka masih harus terus berlanjut. Namun
bangga, karena memiliki suami yang berintregritas tinggi.
Kesulitan ekonomi
seringkali menjadi alasan seseorang untuk melakukan korupsi. Cerita dalam film
ini mengajarkan bahwa prinsip dan nilai yang kita anut tidak pantas digadaikan
dalam kondisi apapun. Jika kita lengah sekali saja, maka penyesalan itu akan
kita bawa seumur hidup kita.
Sebagai seorang
perempuan, saya dapat membayangkan bagaimana dinamika emosi yang dirasakan oleh
istri Pak Woko. Tentu seorang ibu rumah tangga, pasti berharap selalu ada uang
untuk membeli baju baru, membeli kosmetik atau sekedar beras untuk menyambung
hidup setiap hari. Yang membedakan ibu rumah tangga satu dengan yang lain
adalah prinsip dan nilai yang dianut. Jika nilai kejujuran menjadi pegangan
utama, tidak ada lagi istilah “melakukan apapun demi sesuap nasi”.
Jika aspek religiusitas
juga diterapkan dalam konteks korupsi, maka tidak ada orang beriman yang rela
mengisi perutnya dengan makanan “haram” yang berasal dari uang korupsi. Makanan
“haram” tersebut nanti akan menjadi daging dan darah dalam tubuh individu yang
mengkonsumsinya. Tidak ada seorang pun yang rela membiarkan bagian dari dirinya
berasal dari sesuatu yang haram.
Pada akhirnya, semua
orang berhak memilih di jalan apa ia akan berusaha. Hati nurani kita pun akan
menuntun kita untuk menentukan jalan terbaik bagi kita. Apakah kita akan
berbahagia di atas penderitaan orang lain, atau berbahagia karena kita berhasil
memenangkan hati nurani kita di atas nafsu kita akan harta dan kekayaan.
Cerita “Selamat Pagi,
Risa!” berhasil menangkap dan mengemas fenomena secara cerdas peperangan antara
hati nurani dan hawa nafsu. Dan kita pun dipaparkan pada kenyataan bahwa
kesejahteraan yang hakiki bukan dilihat dari seberapa kaya diri kita, tapi
sejauh apa kita mampu mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak
menggadaikan prinsip hidup kita demi apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar